Menjadi minoritas di sebuah wilayah dengan mayoritas agama berbeda tak membuat krama Hindu di Manado berkecil hati. Apalagi kini mereka sudah memiliki Pura Khayangan Tiga. Bagaimana aktivitas mereka?
Mencari pura di Manado, Sulawesi Utara (sulut) tentu bukan urusan gampang. Maklum, mayoritas warga ibukota Sulut ini beragama Kristen dan Islam. Namun beruntung karena ternyata di kota yang berjarak ratusan kilometer dari pusat Hindu di Bali itu, terdapat sebuah pura agung. Namanya Pura Jagadita. Tidak susah mencari Pura jenis Khayangan Tiga di Sulawesi Utara tersebut. Lokasinya masih berada di salah satu kecamatan Kota Manado, tepatnya berada di Desa Kaas, Kecamatan Tikala, di Jalan Siswa Delapan, No 103.
Daerah ini masih bisa dikategorikan pusat kota Manado. Dari tempat kami menginap di Jalan Piere Tendean, hanya butuh waktu sekitar setengah jam menggunakan bus untuk menuju ke pura ini. Hanya kondisi jalannya agak sempit. Lebarnya hanya 5 meter dan berkelok-kelok seperti di kawasan Bedugul. Saking sempitnya di satu tikungan sebelum tiba di pelataran pura, bus yang kami tumpangi harus ngatret karena tidak bisa mendapat haluan.
Maklum pura Jagadita terletak di perbukitan. Ini juga disebabkan karena topografi Manado yang berbukit-bukit. Untuk bisa menggapai lokasi tersebut, kami para awak media tidak bisa langsung menemukan pura. Begitu turun dari bus, kami harus berjalan kaki mendaki bukit setinggi 60 meter. Ukurannya dekat, tapi karena kemiringannya hingga 60 derajat membuat beberapa awak media ngos-ngosan.
"Waduh kalau begini lututnya bisa bergetar," seloroh salah seorang awak media sambil tertawa.
Bersyukur rasa lelah kami akhirnya terbayar. Ketika berjalan sekitar 5 menit, salah seorang krama Bali menyapa dengan ramah. "Inggih, ngiring-ngiring," sahut salah seorang berpakaian upacara begitu kami tiba di pelataran pura. Pria tersebut kami kenal dengan nama Putu Tunas,50. Tunas mengaku pindah ke Manado sejak tahun 1977. Ia adalah Ketua Yayasan Jagadita, sebuah yayasan yang menaungi keberadaan Pura Jagadita. Tunas pula yang mengantarkan awak media menuju ke bagian jaba tengah pura untuk sembahyang bagi anggota rombongan yang beragama Hindu. Nah, untuk menuju berjalan kaki. Lumayan rombongan harus menapaki 115 anak tangga. Meski jumlahnya lebih sedikit, lokasi pura mengingatkan akan Pura Agung Besakih di Karangasem.
Tunas yang masih fasih berbahasa Bali ini dengan ramah menceritakan ihwal berdirinya Pura Jagadita.
"Kami memelaspas tahun 1994. Setelah tiga kali mencari lokasi tepat dan akhirnya menemukan lokasi di sini karena ada sumber mata airnya yang tidak pernah mati," ujar Tunas kepada awak media yang penasaran. Sebelum didirikan pura, lokasi pura hanya berisi padmasana buatan krama Bali.
"Kami membersihkan semak-semak di sini sedikit demi sedikit," terangnya menjelaskan perjalanan berdirinya Pura Jagadita ketika tahun 1980-an.
Pendirian pura baru dilakukan pada awal tahun 1983. Ketika itu menurutnya, krama Bali di Manado memiliki padmasana di desa Keleak, Manado. Lokasi padmasana merupakan pemberian PHDI Sulut dan seluas 3 are. Namun semakin hari, keberadaan padmasana dirasa tidak cukup karena jumlah krama kian bertambah.
"Awalnya hanya puluhan tapi kini sudah ratusan," tuturnya.
Proses pendirian pura pun dilakukan dengan mengumpulkan dana punia dari berbagai pihak. Tidak itu saja, nasib baik juga menaungi krama Bali di Manado. Lantaran bisa mendapatkan tanah seharga Rp 3 juta untuk seluas 80 are. Akhirnya di tahun 1989, bangunan pura setinggi 9 meter didirikan.
Untuk membangunnya menghabiskan dana mencapai Rp 17,5 juta. "Padahal awalnya modal kami hanya Rp 3 juta," tegas pria asal Klungkung itu
0 comments:
Post a Comment